PUISI BUKAN REPORTASE
Oleh : Roso Titie Sarkoro*
Proses Kreatif
Wilayah dan jelajah proses kreatif penyair (pengarang) jelas berbeda dengan wartawan maupun reporter. Penyair dalam menulis sajak-sajak atau puisi berangkat dari kemampuan pengembangan daya imaji (jagat batin). Penyair menghasilkan tulisan fiktif yang subyektif sekaligus puitis dan kontemplatif. Sementara reporter atau wartawan wilayah proses kreatifitasnya adalah fakta yang bersifat obyektif yang ditopang dengan akurasi data.
Menurut hemat saya, puisi atau sajak dicipta bukan sekedar menyempaikan informasi sekilas dan dangkal. Akan tetapi lebih dari itu sebuah puisi yang baik akan mampu menyuguhkan gagasan hasil penjelajahan kontemplatif yang sekaligus memiliki daya gugah intuitif imajinatif bagi apresian.
Puisi memiliki daya renungan yang mendalam akan bersifat monumental dan humanis. Berbeda dengan berita maupun reportase seperti yang kita dapati pada media cetak maupun elektronik setiap hari. Selesai baca, menonton, atau mendengar, selesai juga tanpa perlu perenungan lagi, kita dapat memahami informasi atas berita tersebut.
Berita ditulis oleh wartawan, yang memang tugasnya harus menyajikan informasi secara cepat yang akurat, obyektif, dan terpercaya. Fokus penulisan berita bukan untuk mengaduk-aduk imajinasi pembaca, tetapi menyajikan informasi yang faktawi.
Bertolak dari perbedaan wilayah jelajah proses kreatif antara penyair dan reporter, maka seorang penyair dalam menulis puisi sah-sah saja bila imajinasinya mendasarkan dari hasil observasi fakta yang terjadi dan atau apa yang dilakoni oleh penyairnya sendiri atau benar-benar dialami orang lain.
Akan tetapi, sekali lagi perlu diingat menulis puisi bukan sekedar menyajikan informasi. Maka untuk menghasilkan puisi yang bernilai sastrawi, penyair tidak seharusnya tergesa-gesa serta merta memaparkan apa yang telah terekam di benaknya.
Seorang penyair mestinya memerlukan waktu untuk mengendaprenungkan dulu, hingga yang tertulis memiliki bobot sastrawi - memiliki daya ungkap dan gaya ucap yang intuitif dan imajinatif-.
Salah satu yang harus diperhitungkan bagi setiappenulis puisi, kehadiran puisi bukan hanya sekedar informatif, tetapi harus pula puitis -bernilai estetis yang tinggi-.
Nyaris Bombastis
Pertanyaan sekarang, bagaimana dengan sajak-sajak Gathit Sutarjo, Ariyati, dan Sekar Merah. Gathit yang saya kenal sudah cukup lama dan memiliki jam terbang tinggi dalam proses kreatif penulisan puisi, -saya pernah membaca puisi-puisinya di berbagai media-, ternyata karyanya yang sampai di redaksi majalah "Muara tahun 2007" justru tergelincir nyaris bombastis.
Sajak-sajak gathit kali ini lebih sebagi paparan dangkal yang nyarishanya menyajikan reportase atau pandangan mata. Dia tampak kurang cermat dan terkesan tergesa-gesa untuk segera menyelesaikan sajak-sajak yang ditulisnya.
Barangkali sajak-sajak Gathit akan lebih bermakna sastrawi bila dia sedikit tekun dan mau bersabar merenungkan, sehingga terjadi pengendapan. Beruntung sajak-sajak gathit ini masi tertolong ada daya ungkap yang sedikit kontemplatif.
Keterangan :
* Dalam komumitas Jawa Tengah lebih dikenalsebagai penyair.
Ia juga menulis cerita, kritik dan esei.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar