MENTAL BLOCK
Kalau merujuk pada definisi (bisa juga 
disebut, teori) mental berhubungan dengan pikiran. Artinya, mental 
berada di dalam kepala. Lebih jauh, mental itu mencerminkan kebiasaan 
atau karakteristik dari perilaku yang menentukan bagaimana masalah atau 
situasi ditafsirkan lalu direspon. Sampai di sini, menurut saya tidak 
ada persoalan.
Nah problem, baru datang ketika 
membahas apa dan bagaimana cara kerja ‘mental block’ itu. Mental block 
(selanjutnya saya sebut MB) mengandaikan adanya sesuatu yang 
mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan cara merespon. Pertanyaannya 
adalah: Apa bentuk dari sesuatu itu sehingga bisa menjadi bahan bakar 
berpikir, bersikap dan bertindak? Ternyata sesuatu itu berbentuk 
keyakinan, perasaan dan berbagai nilai yang tertanam dalam jiwa (sampai 
saat ini saya masih belum menemukan kosakata yang sesuai selain ‘jiwa’).
Dengan kalimat lain, kalau 
membicarakan MB berarti block itu bukan lagi berada dalam kepala atau 
pikiran. Di sinilah jebakan MB bekerja. Cara kerjanya berupa pembenaran 
yang dilakukan oleh logika pikiran seakan apa yang dipikirkannya itu 
benar karena masih bisa dilogikakan secara benar. Dampaknya adalah, apa 
yang kita putuskan sebagai respon untuk menyelesaikan masalah seakan 
benar, padahal nantinya setelah keputusan itu diambil dan masalah itu 
terselsaikan dengan panduas keputusan itu, penyesalan akan datang.
Mari membicarakan contoh. Dan 
contoh itu berupa pengalaman saya (namun jangan terpaku dengan contoh 
pengalaman saya dalam membahas MB, masih banyak contoh yang lain). Saya 
baru menyadari kemarin ternyata saya mempunyai MB salah-satunya berupa 
keputusan tiba-tiba untuk tidak pergi menghadiri semacam pertemuan, 
kumpul-kumpul atau apapun itu yang berupa bertemu dengan seseorang (atau
 orang banyak) di luar rumah. Ya keputusan tiba-tiba karena sebenarnya 
jauh-jauh hari saya sudah ingin menghadiri kumpul-kumpul itu.
Biasanya beberapa jam sebelum hari H-nya, muncul perasaan tidak nyaman.
 Bentuknya berupa ada semacam ganjalan di dada (ini yang saya sebut, 
jiwa). Lalu setelah ada ganjalan, biasanya saya memikirkan ulang 
keputusan saya untuk menghadiri kumpul-kumpul itu. Wah, kalau sudah 
memikirkan ulang (lagi-lagi biasanya) akan ada perang pembenaran di 
pikiran untuk menentukan mana yang jauh lebih logis. Masing-masing 
pembenaran punya logika pemikirannya sendiri-sendiri. Misal seperti 
‘ragu-ragu temannya setan,’ ‘nanti di jalan takut kenapa-kenapa,’ dan 
sebagainya sebagai argumen dari pihak MB.
(Sampai di sini, ide menulis 
berhenti karena jeda menulis). Intinya saya mau mengatakan dalam tulisan
 ini, MB itu yang perlu dipersoalkan adalah bahan bakarnya 
berupa keyakinan, perasaan dan berbagai nilai. Selama ini saya (mungkin)
 menganggap remeh MB karena dugaan saya MB cukup hanya di pikiran. Nah 
dampaknya, jika muncul ketidaknyamanan dalam diri terhadap suatu masalah
 atau situasi otak langsung merespon dengan mencari pembenarannya lalu 
saya  memutuskan meninggalkan ketidaknyaman itu.
Padahal yang terjadi di sini adalah
 semacam ilusi, yaitu menganggap pembenaran atas ketidaknyamanan sebagai
 sesuatu nilai yang benar. Nah namanya saja ilusi, kalau nilai itu 
dibuktikan maka akan terungkap ketidaknyamanan itu hanya prasangka atau 
stigma negatif. Cara membuktikannya, kalau memakai contoh saya di atas, 
berupa pergi ke kumpul-kumpul. Ternyata apa yang saya stigmakan ketika 
dalam perjalanan, tidak terjadi. Maksudnya, apa yang saya takutkan tidak
 terjadi hingga pertemuan usai. Sebaliknya kalau saya memutuskan 
untuk mengikuti nilai ilusi itu, dampaknya adalah penyesalan.
Pengandaiannya begini: Ternyata 
saya selama ini salah memilih “bahan bakar” keputusan sehingga MB selalu
 saja datang ketika memutuskan dalam situasi ketidaknyamanan. Kalau 
diteruskan, bahan bakar MB itu komponennya terbentuk dari berbagai 
pengalamanan buruk masa lalu (lebih ekstrimnya, pengalaman trauma). Nah 
sederhananya, pengalaman itu diambil atau dicerap dari pengamatan, lalu 
diolah oleh pikiran serta berakhir atau mengendap di jiwa sebagai bahan 
bakar.
Artinya, solusi untuk melawan MB 
adalah merevisi pengalaman yang sudah mengendap di jiwa dengan 
pengalaman baru yang sepadan. Dalam hal ini, sepadan bermakna sama dalam
 permasalahan atau situasinya tapi dengan cara baru dalam memutuskan 
atau menyelesaikannya. Inilah yang secara tidak langsung disebut 
‘belajar dari pengalaman.’ Kata kuncinya adalah belajar. Maksudnya, 
belajar bisa saja salah kalau caranya bukan merevisi pengalaman lama, 
melainkan menambah bahan bakar Mental Block.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar