Sabtu, 26 Januari 2013

MENTAL BLOCK



MENTAL BLOCK

Kalau merujuk pada definisi (bisa juga disebut, teori) mental berhubungan dengan pikiran. Artinya, mental berada di dalam kepala. Lebih jauh, mental itu mencerminkan kebiasaan atau karakteristik dari perilaku yang menentukan bagaimana masalah atau situasi ditafsirkan lalu direspon. Sampai di sini, menurut saya tidak ada persoalan.
Nah problem, baru datang ketika membahas apa dan bagaimana cara kerja ‘mental block’ itu. Mental block (selanjutnya saya sebut MB) mengandaikan adanya sesuatu yang mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan cara merespon. Pertanyaannya adalah: Apa bentuk dari sesuatu itu sehingga bisa menjadi bahan bakar berpikir, bersikap dan bertindak? Ternyata sesuatu itu berbentuk keyakinan, perasaan dan berbagai nilai yang tertanam dalam jiwa (sampai saat ini saya masih belum menemukan kosakata yang sesuai selain ‘jiwa’).
Dengan kalimat lain, kalau membicarakan MB berarti block itu bukan lagi berada dalam kepala atau pikiran. Di sinilah jebakan MB bekerja. Cara kerjanya berupa pembenaran yang dilakukan oleh logika pikiran seakan apa yang dipikirkannya itu benar karena masih bisa dilogikakan secara benar. Dampaknya adalah, apa yang kita putuskan sebagai respon untuk menyelesaikan masalah seakan benar, padahal nantinya setelah keputusan itu diambil dan masalah itu terselsaikan dengan panduas keputusan itu, penyesalan akan datang.
Mari membicarakan contoh. Dan contoh itu berupa pengalaman saya (namun jangan terpaku dengan contoh pengalaman saya dalam membahas MB, masih banyak contoh yang lain). Saya baru menyadari kemarin ternyata saya mempunyai MB salah-satunya berupa keputusan tiba-tiba untuk tidak pergi menghadiri semacam pertemuan, kumpul-kumpul atau apapun itu yang berupa bertemu dengan seseorang (atau orang banyak) di luar rumah. Ya keputusan tiba-tiba karena sebenarnya jauh-jauh hari saya sudah ingin menghadiri kumpul-kumpul itu.
Biasanya beberapa jam sebelum hari H-nya, muncul perasaan tidak nyaman. Bentuknya berupa ada semacam ganjalan di dada (ini yang saya sebut, jiwa). Lalu setelah ada ganjalan, biasanya saya memikirkan ulang keputusan saya untuk menghadiri kumpul-kumpul itu. Wah, kalau sudah memikirkan ulang (lagi-lagi biasanya) akan ada perang pembenaran di pikiran untuk menentukan mana yang jauh lebih logis. Masing-masing pembenaran punya logika pemikirannya sendiri-sendiri. Misal seperti ‘ragu-ragu temannya setan,’ ‘nanti di jalan takut kenapa-kenapa,’ dan sebagainya sebagai argumen dari pihak MB.
(Sampai di sini, ide menulis berhenti karena jeda menulis). Intinya saya mau mengatakan dalam tulisan ini, MB itu yang perlu dipersoalkan adalah bahan bakarnya berupa keyakinan, perasaan dan berbagai nilai. Selama ini saya (mungkin) menganggap remeh MB karena dugaan saya MB cukup hanya di pikiran. Nah dampaknya, jika muncul ketidaknyamanan dalam diri terhadap suatu masalah atau situasi otak langsung merespon dengan mencari pembenarannya lalu saya  memutuskan meninggalkan ketidaknyaman itu.
Padahal yang terjadi di sini adalah semacam ilusi, yaitu menganggap pembenaran atas ketidaknyamanan sebagai sesuatu nilai yang benar. Nah namanya saja ilusi, kalau nilai itu dibuktikan maka akan terungkap ketidaknyamanan itu hanya prasangka atau stigma negatif. Cara membuktikannya, kalau memakai contoh saya di atas, berupa pergi ke kumpul-kumpul. Ternyata apa yang saya stigmakan ketika dalam perjalanan, tidak terjadi. Maksudnya, apa yang saya takutkan tidak terjadi hingga pertemuan usai. Sebaliknya kalau saya memutuskan untuk mengikuti nilai ilusi itu, dampaknya adalah penyesalan.
Pengandaiannya begini: Ternyata saya selama ini salah memilih “bahan bakar” keputusan sehingga MB selalu saja datang ketika memutuskan dalam situasi ketidaknyamanan. Kalau diteruskan, bahan bakar MB itu komponennya terbentuk dari berbagai pengalamanan buruk masa lalu (lebih ekstrimnya, pengalaman trauma). Nah sederhananya, pengalaman itu diambil atau dicerap dari pengamatan, lalu diolah oleh pikiran serta berakhir atau mengendap di jiwa sebagai bahan bakar.
Artinya, solusi untuk melawan MB adalah merevisi pengalaman yang sudah mengendap di jiwa dengan pengalaman baru yang sepadan. Dalam hal ini, sepadan bermakna sama dalam permasalahan atau situasinya tapi dengan cara baru dalam memutuskan atau menyelesaikannya. Inilah yang secara tidak langsung disebut ‘belajar dari pengalaman.’ Kata kuncinya adalah belajar. Maksudnya, belajar bisa saja salah kalau caranya bukan merevisi pengalaman lama, melainkan menambah bahan bakar Mental Block.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar